Artikel Masalah Biaya Pendidikan di Indonesia

On Thursday 18 October 2012 0 comments

Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

Pada setiap tahun ajaran baru, selalu saja terdengar keluhan masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan yang harus dibayar oleh orang tua atau wali murid. Selain itu juga adanya fasilitas pendidikan yang kurang memadai, seperti masih ada gedung sekolah ambruk, ruang belajar kurang tertata, dan fasilitas pendidikan dalam keadaan minim, dan lain-lain. Problem-problem di seputar pendidikan seolah-olah tidak pernah ada hentinya.
Sementara pada sisi lain, pemerintah sudah menganggarkan pendidikan sebesar 20% dari APBN. Dan sebesar itu tentu tidak sedikit dibanding anggaran untuk kementerian lain. Bahkan anggaran untuk pendidikan pada saat ini adalah yang paling tinggi. Tidak ada anggaran kementerian lainnya, yang melebihi besarnya anggaran yang diperuntukkan bagi kementerian pendidikan nasional.
Wacana pendidikan gratis telah menjadi polemik publik di berbagai daerah. Wacana pendidikan gratis atau setidaknya pendidikan murah, telah disadari oleh masyarakat pengguna jasa sektor pendidikan sebagai hak sosial-ekonomi-budaya yang seharusnya difasilitasi oleh pemerintah (negara). Hak mendapatkan fasilitasi pendidikan berbiaya murah (gratis) itu, merupakan hak masyarakat sebagai pembayar pajak, yang seharusnya direalisasikan oleh pengambil kebijakan di bidang pengelolaan anggaran publik.
Masyarakat pembayar pajak berhak disubsidi oleh negara (pemerintah), ketika mereka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah negeri. Mahalnya biaya pendidikan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat, semakin disadari tidak sebanding dengan mutu pendidikan yang dinikmati masyarakat. Biaya pendidikan di berbagai daerah di Indonesia mengalami kenaikan fantastik mengikuti deret ukur (kepentingan pasar), namun kualitasnya berjalan di tempat.
Mengapa biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal? Banyak pengamat kritis dunia pendidikan menyalahkan arus liberalisasi (privatisasi) dunia pendidikan sebagai biang kerok kondisi tersebut. Sebagian yang lain, menganggap membengkaknya biaya pendidikan karena praktik korupsi di lingkungan birokrasi pendidikan, terutama di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Pembengkakan biaya pendidikan (anggaran pendidikan) di berbagai jenjang sekolah dasar hingga menengah, terutama sekolah negeri, memang disebabkan oleh mark up anggaran sekolah (RAPBS) yang irasional dan tidak akuntabel. Ada contoh kasus, sebuah sekolah menengah negeri favorit di Klaten mengalokasikan item pendapatan RAPBS selama setahun mencapai Rp 850 juta. Besarnya pendapatan 80% didapatkan dari akumulasi iuran SPP/BP3 dari 1.000 siswa per bulan. Jadi setiap bulan ada dana Rp 70 juta yang dikeruk dari kantong orang tua siswa. Lantas apakah rasional, anggaran per bulan sampai Rp 70 juta sekadar untuk membayar pajak listrik-telepon-PAM atau untuk membayar upah rendah beberapa orang guru wiyata bakti?
Ada pendapat dari banyak anggota masyarakat, yang menyebutkan mahalnya biaya pendidikan sekalipun di sekolah negeri, karena praktik korupsi legal dan ilegal oleh birokrasi sekolah dan birokrasi pendidikan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan perhitungan (prasangka) yang rasional, mengapa pimpinan birokrasi sekolah dan birokrasi pendidikan umumnya hidup makmur (berkelimpahan), padahal standar gaji setiap bulannya adalah standar gaji PNS?
Bagaimana membuat pendidikan bisa berjalan dengan baik dan terjangkau oleh rakyat. Pertama, diperlukan kejujuran dan rencana strategis jajaran pimpinan birokrasi pendidikan, untuk mengimplementasikan anggaran pendidikan pada program pembiayaan pendidikan gratis (murah) bagi masyarakat. Kedua, sekolah (dunia pendidikan) harus dibersihkan dari berbagai biaya pungutan siluman, seperti biaya LKS (buku teks yang dikomersilkan), biaya seragam, dan biaya ekstra kurikuler. Karena itu, program pemberantasan korupsi harus bisa menyentuh dunia pendidikan, terutama di sekolah-sekolah. Ketiga, kebijakan bidang pendidikan yang menyepakati program kapitalisasi pendidikan harus dihentikan. Dunia pendidikan harus dijadikan instrumen sosial untuk pencerdasan generasi bangsa yang sepenuhnya dijamin oleh negara. Itulah, barangkali, sebuah pemikiran bagi terciptanya pendidikan berbiaya murah atau bahkan gratis
Anggaran belanja yang ada digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan seperti untuk BOS, peningkatan pendapatan guru setelah mereka mendapatkan program sertifikasi, peningkatan kualitas profesional guru (baik melalui pemberian beasiswa studi lanjut, penataran guru, kepala sekolah, maupun pengawas), melengkapi kebutuhan sarana dan prasarana sekolah dan lain-lain.
Demikian pula, untuk mengamankan dan memaksimalkan fungsi anggaran tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan terkait dengan pembiayaan sekolah. Misalnya bahwa, sekolah tidak boleh memungut biaya tambahan dari orang tua atau wali murid. Sekolah yang melanggar ketentuan itu, maka kepala sekolah akan diberi sanksi. Namun demikian, keluhan-keluhan itu, ternyata masih saja terdengar dari berbagai tempat. Ada saja sekolah yang menggunakan legitimasi komite sekolah, memungut biaya pendidikan. Akibatnya, terjadi protes dari orang tua atau wali murid, terutama dari mereka yang tidak mampu, tentang adanya pungutan biaya pendidikan itu.
Menghadapi persoalan tersebut kiranya perlu dicari sebab musababnya, mengapa sekolah masih memungut biaya pendidikan. Ada kalanya, sekolah menghendaki prestasi lebih dari yang biasa, sehingga memerlukan dana tambahan. Sekolah ingin memberikan pelayanan, untuk menyalurkan kreativitas para guru dan juga murid untuk meningkatkan prestasinya. Jika demikian halnya maka pemerintah, melalui dinas pendidikan setempat, perlu memberikan biaya lebih terhadap mereka yang kreatif seperti itu, agar tidak melakukan pemungutan biaya dari orang tua atau wali murid yang kurang mampu.
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak semua orang menginginkan hidup hanya sesuai dengan standar. Banyak orang ingin berprestasi lebih. Keinginan itu seharusnya diberikan saluran, namun harus dicari cara yang sekiranya tidak membebani orang tua atau wali murid. Melarang kepala sekolah berkreasi, adalah kurang tepat. Sebab sekolah seharusnya dijadikan tempat lahirnya kreatifitas. Menghentikan kreatifitas sama halnya dengan membunuh jiwa sekolah itu sendiri. Hanya saja yang perlu dipikirkan lagi-lagi adalah, bagaimana kreatifitas itu tidak membebani atau memberatkan orang tua atau wali murid.
Contoh-contoh hidup kreatif justru harus ditumbuh-kembangkan oleh sekolah. Sebab kemajuan bangsa ini sebenarnya terletak dari adanya kreatifitas itu, dan sebaliknya bukan karena keseragaman dari aturan yang ada. Namun, mengelola kreatifitas tidak selalu mudah, karena itu banyak orang menghindarinya. Pemimpin yang tidak mau repot, biasanya lebih suka menegakkan peraturan. Sekalipun dengan begitu, maka kreatifitas tidak muncul dan sebagai akibatnya tidak akan ada kemajuan.
Jika sekolah diberi ruang untuk mengembangkan kreatifitas seluas-luasnya, mereka harus diberi tanggung jawab agar memperhatikan orang tua atau wali murid yang tidak mampu. Pemerintah tidak perlu mengancam sekolah, sepanjang tidak menyalah-gunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Pemerintah seharusnya menghargai dua hal sekaligus, yaitu kreatifitas yang bisa dikembangkan oleh sekolah, dan juga seberapa banyak pula mereka berhasil membantu atau meringankan beban orang tua atau wali murid yang mengalami kesulitan. Dengan begitu, sekolah akan berhasil melakukan peran-peran yang sebenarnya.
Kita sering membuat aturan yang baik, tapi dengan berbagai alasan dilanggar atas nama rakyat, yang rakyat sendiri tidak menghendaki pelanggaran aturan tersebut. Yang penting, jangan sampai terjadi anak-anak tidak bisa sekolah, karena tidak ada biaya. Pemerintah atau negara harus bertanggung jawab memenuhi hak anak (rakyat) terhadap pendidikan dan pelayanan publik lainnya. Jika pemerintah memang amanah, konsisten dan komitmen untuk peduli terhadap rakyat.

0 comments:

Post a Comment